Kamis, 12 Maret 2009

AADP(ada apa dengan Palon)

Ada Apa di Desa Palon

Kami menuju Desa Palon, Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora. Desa Palon di era 70 an hingga tahun 80 an dikenal sebagai tempat para primadona Tayub berasa.

Bahkan nama Palon pun sempat menyandang predikat buruk, akibat banyak dari para penari itu yang lalu melacurkan diri. Alasannya kesulitan ekonomi. Apalagi kompetisi cukup ketat.

Banyak perempuan di Palon yang bekerja sebagai penayub. Di Desa Palon, kami menemui Sulasih, mantan penari Tayub era 80 an.

Walau dunia Tayub sudah ia tinggalkan, tapi masih lekat dalam ingatannya betapa dunia seni ini punya citra negatif. Sulasih belajar Tayub sejak usia 15 tahun. Waktu itu ekonomi keluarga Sulasih sangat sulit. Dengan modal nekad, Sulasih pun terjun menjadi penari Tayub.

Selama 8 tahun, ia menjadi penari Tayub, Sulasih memang bisa menghidupi ibu dan nenek yang jadi tanggungannya. Tapi disisi lain, berbagai pengalaman pahit sering menerpanya. Dari mulai cemo-ohan hingga pelecehan seksual.

Sulasih pun akhirnya keluar dari dunia Tayub. Itupun karena ia dijadikan selir. Bagi Sulasih, tak masalah ia hanya jadi istri kedua. Yang penting hidupnya ada yang menjamin.

Sulasih sendiri membantah dirinya pernah menjajakan diri sewaktu jadi penari Tayub. Tapi ia tidak menampik, ada sebagian penari yang seperti itu. Biasanya, status mereka belum menikah.

Di sisi lain pentas Tayub yang sering mengundang lelaki iseng juga turut disemarakan oleh hadirnya para perempuan yang bukan penari, tapi terang-terangan menjual diri. Salah satunya Wakimi, tanpa sungkan ia mengakui perbuatannya. Masalah ekonomi itulah alasannya.

Karena itu Wakimi tidak segan-segan melakukan pekerjaan ini secara terbuka dengan melayani lelaki baik di rumahnya sendiri maupun di luar rumah. Walau Wakimi bukan penari Tayub, tapi tak bisa dipungkiri hal ini membuat citra Tayub semakin miring.

Desa Palon sebagai gudangnya para penari Tayub di Blora turut kena getahnya. Warga setempat pun banyak yang gerah. Apalagi sering terjadi perkelahian saat Tayub digelar.

Tahun 70 hingga 80 an, hampir 20 persen penari Tayub di Desa Palon berprofesi sebagai pekerja seks. Sebuah kondisi yang sungguh tak sedap bagi warga Palon.

Bagaimana Mengubahnya

Sebetulnya bila ditelaah tidak ada yang salah dengan bentuk kesenian ini. Tidak berbeda dengan bentuk tarian lainnya. Kesenian Tayub juga bisa menjadi salah satu bentuk silaturahmi. Seseorang bisa bertemu dengan banyak orang dalam suasana menyenangkan dan penuh kegembiraan.

Dalam Tayub, tidak ada aturan baku baik yang dilakukan penayub maupun pengibing dalam mengerakkan tangan dan kaki mereka. Gerakan yang dilakukan bebas-bebas saja tergantung perasaan masing-masing ngikuti alunan lagu. Semua senang, semua gembira. Sebuah kegembiraan yang harusnya membawa hal positif.

Keberadaan Tayub yang dikaitkan dengan hubungan seks bebas harus dihilangkan. Hal inilah yang disadari oleh warga Palon, termasuk aparat desa dan tokoh agama setempat. Antara lain dengan membangun masjid dan mushola di setiap dusun. Sekolah-sekolah agama juga digiatkan.

Memang tidak ada sanksi tegas bagi mereka yang menjual diri. Kesulitan ekonomi dianggap sebagai wilayah yang amat pribadi. Yang ada sebatas sanksi sosial, dicemooh, dikucilkan warga. Namun toh demikian, perlahan ada hasilnya. Tak sebanyak dulu penari Tayub yang melacurkan diri.

Selain pendekatan secara agama, juga dilakukan pendekatan ke sekolah-sekolah. Sementara itu para penari Tayub juga kini dikelola secara profesional melalui pelatihan khusus dari Pemda Blora. Tidak liar seperti dulu lagi.

Sebagai sebuah kesenian rakyat, sudah sewajarnya dalam Tayub semua gembira bersama tanpa mengenal batas golonga. Pejabat pemerintah, warga biasa, kaya dan miskin, semua lebur bersama, tanpa melupakan ada batasan susila yang harus dijaga bersama. (Sup)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar