Kamis, 12 Maret 2009

tayuban from palon

Tayang: Selasa, 24 Januari 2006 Pukul, 12.00 Wib
Reporter: Sudrajat
Juru Kamera: Medi Kuswedi

indosiar.com, Blora - Blora, sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Antara lain terkenal dengan kesenian rakyatnya. Kesenian yang konon berawal dari tarian istana yang lalu terbawa jadi sebuah hiburan rakyat. Sebuah seni kelas tinggi yang lalu jadi sebuah hiburan semata.

Bahkan punya stigma buruk bagi penarinya. Ia adalah ledek Tayub atau orang Jawa Tengah menyebutnya dengan istilah Tayuban.

Suatu malam di Kampung Langkok, Kecamatan Jigan, Kabupaten Blora, mereka tengah bersolek untuk tampil di pentas sebuah acara pernikahan. Inilah para penari Tayub itu. Berbalut kebaya dan sanggul, dengan dandanan khas panggung.

Seperti biasa, untuk memeriahkan suasana suka ria sebuah hajatan, sang tuan rumah menyuguhkan Tayuban kepada para tamunya. Kemeriahan ini akan berlangsung dari siang hingga malam. Kamipun tak ingin ketinggalan menyaksikan Tayuban ini.

Konon, dahulu kala, Tayub adalah tari-tarian yang dilakonkan di istana. Namun perjalanan waktu membawanya menjadi sebuah kesenian rakyat yang akrab hadir di tengah masyarakat Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur.

Perjalanana waktu jugalah yang membawa citra Tayub berubah. Minuman keras yang sering hadir dalam acara Tayub kerap memancing keributan. Bahkan para penari Tayub juga turut menyumbang citra buruk terhadap keberadaan tarian ini.

Mudah menjual diri, asal suka sama suka. Parsi dan Parti, dua penari yang beraksi malam ini termasuk penari yang tengah jadi primadona di Blora. Pengibing sebutan bagi penonton yang diundang ke panggung untuk ikut menari, tentu tidak akan melewatkan kesempatan menari bersama sang primadona.

10 tahun lalu, Parti dan Parsi hanya mendapatkan bayaran paling tinggi sebesar 30 ribu rupiah sekali panggung. Namun kini mereka dibayar masing-masing 500 ribu rupiah untuk sebuah pementasan.

Jika musim panen tiba seperti musim panen raya, selama sebulan Parsi dan Parti bisa meraup penghasilan rata-rata 10 juta rupiah. Itu belum termasuk saweran dari pengibing.

Soal lelaki iseng dari mulai yang colek colek hingga mengajak tidur, sudah kenyang mereka lalui. Mereka mengaku tidak pernah tergoda untuk melayaninya.

Untuk menggelar Tayub sehari semalam, lagu-lagu Jawa yang ditembangkan penayub biasanya mencapai 40 lagu. Ini artinya terdapat 40 tarian yang dilakukan sang penayub.

Kekuatan fisik, wajah cantik dan bentuk tubuh seksi serta mampu menguasai lagu-lagu berbahasa Jawa jadi syarat utama bagi penayub. Tapi barang kali yang tak kalah penting, ia harus kebal terhadap godaan para lelaki hidung belang.

Apalagi bagi para penayub yang jarang pentas. Salah melangkah bisa terjerumus. Desa Palon, salah satu desa penghasil penari Tayub di Blora bisa jadi saksi. Betapa desakan kehidupan dapat menutup matahati.

Ada Apa di Desa Palon

Kami menuju Desa Palon, Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora. Desa Palon di era 70 an hingga tahun 80 an dikenal sebagai tempat para primadona Tayub berasa.

Bahkan nama Palon pun sempat menyandang predikat buruk, akibat banyak dari para penari itu yang lalu melacurkan diri. Alasannya kesulitan ekonomi. Apalagi kompetisi cukup ketat.

Banyak perempuan di Palon yang bekerja sebagai penayub. Di Desa Palon, kami menemui Sulasih, mantan penari Tayub era 80 an.

Walau dunia Tayub sudah ia tinggalkan, tapi masih lekat dalam ingatannya betapa dunia seni ini punya citra negatif. Sulasih belajar Tayub sejak usia 15 tahun. Waktu itu ekonomi keluarga Sulasih sangat sulit. Dengan modal nekad, Sulasih pun terjun menjadi penari Tayub.

Selama 8 tahun, ia menjadi penari Tayub, Sulasih memang bisa menghidupi ibu dan nenek yang jadi tanggungannya. Tapi disisi lain, berbagai pengalaman pahit sering menerpanya. Dari mulai cemo-ohan hingga pelecehan seksual.

Sulasih pun akhirnya keluar dari dunia Tayub. Itupun karena ia dijadikan selir. Bagi Sulasih, tak masalah ia hanya jadi istri kedua. Yang penting hidupnya ada yang menjamin.

Sulasih sendiri membantah dirinya pernah menjajakan diri sewaktu jadi penari Tayub. Tapi ia tidak menampik, ada sebagian penari yang seperti itu. Biasanya, status mereka belum menikah.

Di sisi lain pentas Tayub yang sering mengundang lelaki iseng juga turut disemarakan oleh hadirnya para perempuan yang bukan penari, tapi terang-terangan menjual diri. Salah satunya Wakimi, tanpa sungkan ia mengakui perbuatannya. Masalah ekonomi itulah alasannya.

Karena itu Wakimi tidak segan-segan melakukan pekerjaan ini secara terbuka dengan melayani lelaki baik di rumahnya sendiri maupun di luar rumah. Walau Wakimi bukan penari Tayub, tapi tak bisa dipungkiri hal ini membuat citra Tayub semakin miring.

Desa Palon sebagai gudangnya para penari Tayub di Blora turut kena getahnya. Warga setempat pun banyak yang gerah. Apalagi sering terjadi perkelahian saat Tayub digelar.

Tahun 70 hingga 80 an, hampir 20 persen penari Tayub di Desa Palon berprofesi sebagai pekerja seks. Sebuah kondisi yang sungguh tak sedap bagi warga Palon.

Bagaimana Mengubahnya

Sebetulnya bila ditelaah tidak ada yang salah dengan bentuk kesenian ini. Tidak berbeda dengan bentuk tarian lainnya. Kesenian Tayub juga bisa menjadi salah satu bentuk silaturahmi. Seseorang bisa bertemu dengan banyak orang dalam suasana menyenangkan dan penuh kegembiraan.

Dalam Tayub, tidak ada aturan baku baik yang dilakukan penayub maupun pengibing dalam mengerakkan tangan dan kaki mereka. Gerakan yang dilakukan bebas-bebas saja tergantung perasaan masing-masing ngikuti alunan lagu. Semua senang, semua gembira. Sebuah kegembiraan yang harusnya membawa hal positif.

Keberadaan Tayub yang dikaitkan dengan hubungan seks bebas harus dihilangkan. Hal inilah yang disadari oleh warga Palon, termasuk aparat desa dan tokoh agama setempat. Antara lain dengan membangun masjid dan mushola di setiap dusun. Sekolah-sekolah agama juga digiatkan.

Memang tidak ada sanksi tegas bagi mereka yang menjual diri. Kesulitan ekonomi dianggap sebagai wilayah yang amat pribadi. Yang ada sebatas sanksi sosial, dicemooh, dikucilkan warga. Namun toh demikian, perlahan ada hasilnya. Tak sebanyak dulu penari Tayub yang melacurkan diri.

Selain pendekatan secara agama, juga dilakukan pendekatan ke sekolah-sekolah. Sementara itu para penari Tayub juga kini dikelola secara profesional melalui pelatihan khusus dari Pemda Blora. Tidak liar seperti dulu lagi.

Sebagai sebuah kesenian rakyat, sudah sewajarnya dalam Tayub semua gembira bersama tanpa mengenal batas golonga. Pejabat pemerintah, warga biasa, kaya dan miskin, semua lebur bersama, tanpa melupakan ada batasan susila yang harus dijaga bersama. (Sup)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar